JAKARTA – Kisah Warga Negara Indonesia (WNI) yang pindah jadi warga Negara Singapura, baru-baru ini Dirjen Imigrasi Indonesia, Silmy Karim mengatakan, sebanyak 1.000 warga negara Indonesia (WNI) berprestasi pindah menjadi warga negara Singapura setiap tahun.
Dikutip dari detik.com, Kamis (13/07), Septian Hartono menjadi warga negara Singapura pada 2020, lebih dari 15 tahun sejak dia menjejakkan kaki di negeri itu, dia menjelaskan sebagai proses yang natural.
Septian, 38 tahun, mendapatkan beasiswa untuk kuliah S1 di Nanyang Technological University setelah lulus SMA di Jakarta pada 2003.
Sebagai penerima beasiswa, Septian diwajibkan bekerja di perusahaan Singapura selama tiga tahun. Jika ditotal, Septian tinggal di Singapura selama tujuh tahun sebelum menyandang status permanent resident (PR).
Septian lantas menikah dengan seorang perempuan asal Indonesia yang juga mendapat beasiswa di NTU. Keduanya dikaruniai anak, lalu mereka memutuskan untuk tinggal dalam jangka panjang di Singapura.
“Setelah itu, make sense kalau kita convert (pindah kewarganegaraan), katanya kepada BBC News Indonesia.
Dirjen Imigrasi Indonesia, Silmy Hakim mengatakan kepada media bahwa sebanyak 1.000 mahasiswa RI berusia 25 sampai 35 tahun, pindah menjadi warga negara Singapura setiap tahun.
Belakangan, Silmy mengklarifikasi kepada BBC News Indonesia bahwa 1.000 orang tersebut tidak hanya terdiri dari mahasiswa tapi “orang-orang yang memiliki keahlian khusus; talenta-talenta baik.
Silmy mengatakan, data 1.000 WNI per tahun itu berasal dari tahun 2019-2022.
Alasan-alasan seperti kesempatan bekerja, infrastruktur, dan pendidikan yang lebih baik disebut menjadi faktor pendorong para WNI untuk mendaftar sebagai warga negara Singapura.
Alasan pragmatis
Bagi Septian Hartono, keputusan untuk berganti kewarganegaraan tidak diambil begitu saja. Selama 15 tahun dia berkali-kali mempertimbangkan untuk pulang ke Indonesia tetapi akhirnya memutuskan untuk tinggal karena “alasan pragmatis.
Karier menjadi salah satu faktor yang menentukan. Septian bekerja sebagai teknisi kesehatan di rumah sakit umum terbesar di Singapura dan dia merasa apa yang dia kerjakan sekarang belum ada di Indonesia atau kalaupun ada, levelnya tidak sama seperti di Singapura.
Faktor lainnya ialah standar hidup di Singapura yang dinilai lebih baik dari Indonesia, yang menurut Septian itu berkat fasilitas publiknya.
“Di Singapura keluarga kami bisa tinggal di rumah susun publik, ke mana-mana menggunakan transportasi publik, sekolah [anak] di sekolah negeri, saya bekerja di RS Umum, jadi lebih ke… Saya melihat bahwa hidup yang so-called baik itu justru hidup yang bisa menikmati fasilitas-fasilitas publik ini, kata Septian.
Dia menambahkan: “Adik saya tinggal di Jakarta dan dia juga sudah punya anak. Saya lihat justru mungkin anak dia tuh biaya hidupnya lebih tinggi dari anak saya. Sekolah [swasta] lebih mahal, ke mana-mana mesti diantar-jemput naik mobil, segala macam.
Tetapi meskipun sudah menjadi warga negara Singapura, Septian mengatakan dia tidak pernah meninggalkan identitasnya sebagai orang Indonesia.
“Ketika aku pindah tidak berarti aku meninggalkan ke-Indonesia-anku. Justru aku menjabarkan identitasku sekarang sebagai Indonesian-Singaporean, ujarnya.
Menurut Septian, identitas Indonesia itu penting untuk memperkaya identitas Singapura itu sendiri.
“Aku di sini juga kan ke gereja yang isinya komunitas orang Indonesia. Itu juga menarik; lebih dari setengah mungkin sudah warga Singapura, cuma tetap ada kekhasannya sebagai orang Indonesia-Singapura. Di satu sisi memperkaya identitas Singapura itu sendiri, di sisi lain juga tetap ada link dengan negara asal, Indonesia,” paparnya.***
Editor: Redaksi