JAKARTA – Seorang mantan Marinir Amerika Serikat, mengaku melihat UFO ketika bertugas di Indonesia. Dia mengklaim, bersama lima rekannya melihat piring terbang yang sangat besar dan penuh senjata saat bertugas di Indonesia tahun 2009. Dia juga diancam dengan todongan senjata oleh pasukan AS di tempat kejadian.
Dilangsir dari detik.com, Berkenaan dengan penyelidikan intensif UFO di AS, beberapa saksi mulai berbicara termasuk Michael Herrera ini. Herrera adalah marinir penembak jitu yang dikirim dalam misi kemanusiaan usai gempa bumi Sumatera tahun 2009, tepatnya di Padang.
Dalam wawancara eksklusif dengan DailyMail yang dikutip detiknet, dia mengklaim saat menjaga penerjunan pasokan bantuan di luar kota Padang bulan Oktober tahun itu, unitnya yang beranggotakan enam orang melihat kapal aneh segi delapan melayang, yang tampaknya dipakai oleh pasukan rahasia AS.
Setelah 14 tahun diam, Herrera berani mengisahkannya di bawah perlindungan pengungkap fakta UFO yang baru dan bersaksi di bawah sumpah pada tim investigasi UFO pemerintah, All-domain Anomaly Resolution Office (AARO), serta komite Senat.
Ia gabung dengan Marinir setelah lulus SMA, lalu ditugaskan ke Filipina untuk membantu mendistribusikan bantuan setelah bencana topan. Ketika gempa bumi hebat melanda Sumatera di 2009, ia turut dialihkan untuk membantu menjaga pengiriman bantuan dari udara di sekitar Kota Padang.
Sekitar Oktober, dia dan lima marinir diturunkan di tempat terbuka di bagian timur laut kota dengan helikopter dan mendaki untuk mengambil pasokan yang masuk. Saat itulah dia melihat benda aneh di sisi lain bukit. “Saya bisa lihat sesuatu bergerak dan berputar. Warnanya berubah antara abu-abu matte yang sangat terang jadi hitam matte sangat gelap,” katanya.
Benda itu sangat besar, menurutnya seukuran lapangan sepak bola. “Pesawat itu berputar searah jarum jam sambil mengubah warna. Ada dengungan terdengar. Bentuknya segi delapan dengan piramida di atasnya berwarna hitam.”
Ada semacam sisik menutupi seluruh pesawat dan tepi tajam yang diduga buatan manusia. Herrera mengklaim ketika dia dan lima rekannya makin dekat dari pesawat, mereka disergap delapan orang mengenakan kamuflase serba hitam, rompi anti peluru, senapan, dan alat penglihatan malam kelas atas yang diberikan pada pasukan elit AS.
“Mereka mengacungkan senjata ke arah kami. Siapa kalian? Apa yang kamu lakukan di sini?’ dua dari mereka berteriak dengan aksen Amerika. Mereka bilang kita tidak seharusnya ada di sana, dan mereka bisa membunuh kami,” klaimnya.
Ketika diperiksa, Herrera mengatakan dia melihat orang lain membawa semacam ‘kotak senjata besar’ dan kontainer lain dari truk Ford yang dimodifikasi ke platform di bawah pesawat itu. Ketika dua truk terakhir selesai membongkar muatan, bagian bawah platform naik dari tanah dan menyatu ke pesawat.
“Di sudut pesawat, ada lampu yang berubah-ubah antara biru, merah, kuning, dan hijau. Pesawat itu naik dan melewati pepohonan, lalu meluncur menuju laut dengan kecepatan sekitar 4.000 mph. Kami tidak percaya ini terjadi,” kisahnya.
Herrera mengatakan delapan tentara tak bertanda mengembalikan senjata mereka dan menggiring mereka untuk pergi. Keenam marinir itu diam tentang kisah itu. “Saya sangat takut. Saya berpikir saya bisa saja terbunuh, bagaimana saya akan menjelaskan hal ini?” katanya.
Beberapa hari kemudian, mereka kembali ke Filipina. Setelah minum-minum di malam hari dengan rekan-rekannya, mereka mendapati memori kamera dan ponsel masing-masing telah hilang.
Pada awal Desember 2009 dia kembali ke Camp Hansen di Okinawa, Jepang. Dia disuruh melapor ke kantor, di mana dia berjumpa seorang letnan kolonel Angkatan Udara berseragam lengkap tetapi tidak beridentitas.
“Dia mulai memberi tahu saya, ‘Anda tidak diizinkan berbicara tentang apa yang terjadi, tidak pada rantai komando Anda, bahkan seorang jenderal. Kamu bisa masuk penjara, atau kamu akan mati,” kisah Herrera.
“Dia mengatakan kepada saya tutup mulut dan menyelipkan kertas pada saya. Satu-satunya hal yang dapat saya ingat adalah tertulis ‘TS/SCI’, Top Secret/Sensitive Compartmented Information. Dan ada Indonesia di dalamnya,” tambahnya.
Dia pun menandatanganinya dan keluar dari sana. “Saya berlari kembali ke barak dan tidak pernah membicarakannya lagi sejak itu. Itu adalah sesuatu yang saya rahasiakan selama hampir 14 tahun. Tapi saya memikirkannya setiap hari.”
Dia meninggalkan Angkatan Laut pada Oktober 2011. Perlindungan whistleblower UFO baru yang diberlakukan pada bulan Desember silam, mendorong mantan marinir itu untuk akhirnya menceritakan kisahnya.
Herrera mengatakan pada 2017 dia bertemu aktivis UFO Dr. Steven Greer dan Greer membujuknya untuk berbicara, menghubungkannya dengan staf kongres dan AARO awal tahun ini. Herrera juga berencana menceritakan kisahnya pada konferensi pers di Washington DC yang diselenggarakan oleh Greer, bersama empat saksi UFO lainnya. Mantan marinir itu mengklaim lima mantan rekannya terlalu takut untuk maju.***
Editor: Redaksi