PADANG PANJANG – Buku kumpulan cerpen (kumcer) “Lelaki Rambut Bawang” hasil karya Denni Meilizon dibedah di Ruang Baca Rimba Bulan, Silaing Bawah, Kecamatan Padang Panjang Barat, Sabtu (15/1/2022).
Diskusi bedah buku itu di moderatori penulis dan pegiat literasi Padang Panjang, Muhammad Subhan dengan pemantik diskusi Ubai Dillah Al Anshori (dosen dan sastrawan), Januar Efendi (penulis dan guru) dan Arbi Tanjung (Founder Pasaman Boekoe sekaligus penulis dan pegiat literasi).
Berbagai pandangan baik kritikan dan saran yang membangun, disampaikan masing-masing pemantik dalam ajang bedah buku yang berlangsung selama kurang lebih satu jam setengah itu.
Arbi Tanjung menilai kumcer yang ada dalam buku ini soal terasa nikmat atau tidak, itu tergantung dari kesiapan si pembaca.
“Ini tergantung dari kesiapan si pembaca dengan bekal yang ada padanya untuk menerima cerita di dalam buku ini. Bagi saya nikmat. Mungkin dari yang lain bisa jadi berbeda,” kata Arbi.
Arbi menambahkan, kumcer yang ada di dalam buku ini ceritanya cukup berkesinambungan. Namun ia juga mengkritik untuk penutup di masing-masing cerita. Penulis dinilainya masih agak terlalu tergesa-gesa untuk mengakhiri cerita yang ia buat yang mengakibatkan endingnya agak rancu.
Berbeda dengannya, Ubai Dillah Al Anshori memiliki beragam macam dugaan tersendiri di dalam buku ini.
Kata Ubai, buku tersebut dituliskan sebagai cara menghimpun tulisan yang terbit di media atau yang dituliskan sayang untuk ditinggalkan. Sehingga sebaiknya disatukan saja menjadi sebuah buku.
“Ini hanya sebagai dugaan saya, buku ini disatukan saja dan tidak ada kepentingan lainnya. Buku ini menghimpun sebanyak 14 cerpen dengan tahun yang berbeda-beda. Namun ada juga yang dituliskan dengan tahun yang sama. Sejatinya itu semua tidak jadi masalah. Hanya saja pencatatan perlu diurutkan ke depan publik,” ungkap Ubai.
Lebih lanjut Ubai menambahkan, cerpen pembuka pada buku ini, “Ami Ingin Pulang ke Masa Lalu” dan ditutup dengan “Lelaki Rambut Bawang” yang dipilih penulis menjadi judul buku.
“Cerpen-cerpen ini rasanya menggiring pembaca ke dalam diri penulis. Ke dalam ruang berpikir kreatif lingkungan dan memilih untuk mendekatkan ke dalam ruang-ruang realitas atau empiris. Sejatinya si pengarang harus bisa menjauhkan diri dari hal yang seperti ini. Pengarang harus bisa menjauhkan teks atau keegoisannya. Karena cerpen itu sifatnya bukan untuk dia sendiri, melainkan untuk bahan publik,” tambah Ubai.
Sementara itu, Januar Efendi melihat buku ini merupakan sebuah kritik sosial terhadap lingkungan. Karena pada bagian cerpen pertama yang berjudul “Ami Ingin Pulang ke Masa Lalu”, penulis mencoba untuk memaparkan yang akan terjadi ketika melakukan hal di luar kodrat sebagai manusia.
“Di sini saya melihat hubungan penulis dengan Tuhannya. Di mana penulis ini tampak sangat memahami hakikat kemanusiaan antara dia bersama dengan Tuhannya yang dipaparkan realita kejadian ke dalam cerpen ‘Ami Ingin Pulang ke Masa Lalu’,” pungkasnya.
Januar juga sependapat dengan Ubai Dillah yang mana setelah dilakukan pendekatan dengan metode hubungan manusia dengan waktu, Januar menilai buku ini merupakan kumpulan cerita yang ditayangkan di media cetak, lalu dikumpulkan daripada dibuang sayang.
“Saya tidak menemukan fungsi sastra dalam cerita ini jika runtutan ceritanya itu tidak sesuai dengan tahun, tanggal ataupun tempat waktu sastra itu dilahirkan. Penulis juga tidak memaparkan secara vulgar tentang ketokohan utama dalam cerita ini,” ungkapnya.
Menanggapi hal itu, Denni Meilizon mengucapkan terima kasih kepada para pemantik yang telah bersedia memberikan kritikan dan masukan terhadap karya sastra yang telah dibuatnya.
“Sebuah karya kalau sudah diterbitkan, itu sudah milik publik. Semua bebas mengkritik dan memberikan masukan. Apapun itu, saya ucapkan terima kasih dan akan dijadikan sebagai pembelajaran untuk ke depannya,” sebut pegiat literasi Pasaman Barat sekaligus penyair ini.
Diskusi dan bedah buku ini turut dihadiri berbagai kalangan dan komunitas taman baca di Kota Padang Panjang. (*)
Penulis : Muhammad Fadhli