JAKARTA – Viral warganet mengeluhkan pembayaran menggunakan pakai Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) kini lebih mahal. Karena para pedagang kini diketahui menaikkan harga jika konsumen membayar pakai QRIS.
Keluhan tersebut ramai di sebuah unggahan salah satu akun yang menunjukkan pengumuman di lapak pedagang meminta konsumen membayar cash aja karena dengan QRIS ada potongan 0,3%.
“Per tanggal 1 Juni pembayaran melalui QRIS terkena potongan 0,3%. Tolong..! Kalau bisa bayar cash aja,” tulis keterangan pedagang yang diunggah salah satu akun Twitter @jua*****, Jumat (14/7/2023).
Sontak unggahan itu pun menyita perhatian warganet di Twitter. “Kemarin kejadian. Pakai QRIS disuruh tambah gope.Gue beli 60rb x 0,3% = 180 rupiah harusnya.
Sudah protes kasih hitungannya eh malah bilang nggak usah beli. Kan kesal ya kok nyari untung segitunya. Bukan perkara gope, tapi ya hitung sesuai nilai yang harus dibayar,” tulis akun @kay******.
Siapa yang diuntungkan?
Pedagang kena tarif 0,3% pakai QRIS, lantas siapa yang diuntungkan? biaya itu dikenakan per transaksi bagi pedagang yang menyediakan fasilitas QRIS. Kebijakan ini berlaku sejak 1 Juli 2023 lalu, setelah ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI).
Josua Pardede Ekonom PermataBank mengatakan pengenaan biaya QRIS atau disebut Merchant Discount Rate (MDR) sebesar 0,3% kepada pedagang berpotensi adanya penurunan margin keuntungan bagi pedagang. Meski begitu, menurutnya pengadaan QRIS tetap menjanjikan dalam peningkatan konsumen.
“Terdapat potensi pemangkasan margin keuntungan dari pedagang. Meskipun akan ada peningkatan biaya tersebut, di tengah perubahan perilaku pembayaran masyarakat yang saat ini cenderung non-tunai, maka QRIS akan tetap menjadi pilihan dalam bertransaksi,” jelasnya dikutip dari detik.com, Jumat (14/07/2023).
Menurutnya, dengan menggunakan QRIS, konsumen memandang transaksi akan kemudahan dan memberikan kenyamanan. Jadi masyarakat pun tetap akan cenderung memilik fasilitas QRIS untuk pembayaran.
“Di tengah perubahan perilaku pembayaran masyarakat yang saat ini cenderung non-tunai, maka QRIS akan tetap menjadi pilihan dalam bertransaksi. Biaya yang masih relatif lebih murah dan kemudahan serta kenyamanan bertransaksi akan menjadi alasan utama bagi masyarakat maupun pelaku usaha dalam menggunakan fasilitas QRIS,” terangnya.
Dihubungi terpisah, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy memandang untuk menentukan apakah kebijakan pengenaan 0,3% dalam transaksi QRIS bagi pedagang ini adil atau tidak, tergantung pada jenis usahanya.
“Saya kira di beberapa usaha misalnya kalau kita bicara pedagang kecil ataupun pedagang sembako yang punya margin keuntungan yang relatif kecil maka margin ini bisa saja memberatkan mereka. Dan inilah kemudian menurut saya yang bisa menjadi semacam disinsentif bagi mereka untuk tetap menggunakan keris di masa depan ketika ada kenaikan biaya 0,3% ini,” terangnya.
Namun demikian di sisi lain, Yusuf mengungkap, ketika pedagang punya margin yang besar, adanya MDR QRIS diyakini tidak akan begitu berdampak sangat signifikan bagi pedagang. Karena pedagang bisa memperkecil margin dan tetap menjual ya harga produk mereka di level harga yang sama.
Senada dengan Josua, Yusuf memandang pembayaran menggunakan QRIS masih akan terus diminati oleh masyarakat. Oleh karena itu dia meyakini konsumen para pedagang juga akan meningkat seiring dengan meningkatnya pelayanan QRIS.
“Saya kira hal-hal seperti ini juga yang kemudian perlu dilihat secara utuh oleh penjual terutama karena saat ini alternatif pembayaran non tunai itu menjadi hal yang kemudian tidak bisa terhindarkan. Karena zamannya sekarang sudah canggih dan masyarakat sudah banyak familiar dengan sistem pembayaran non tunai dan mau tidak mau menurut saya penjual kemudian harus beradaptasi terkait hal tersebut,” lanjutnya.
Sementara Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memandang para pedagang tidak cukup nyaman dengan adanya pengenaan 0,3% MDR QRIS tersebut. Karena saat ini pelaku usaha kecil atau usaha mikro (UMI) masih masa pemulihan pasca dari pandemi.
“Meski kecil MDR 0,3% tapi dikali ratusan transaksi harian pasti akan beratkan pelaku usaha skala kecil. Jadi ya tidak worth it,” tegasnya.
Ia juga menyoroti imbauan, di mana pedagang tidak boleh menaikkan harga dagangannya akibat ada pengenaan 0,3% MDR QRIS. Karena menurutnya, hal tersebut pun susah diawasi oleh regulator.
“Jika disebut tidak boleh tarif MDR QRIS dibebankan kepada konsumen, faktanya pengawasan kan susah ya. Yang terjadi justru pelaku usaha memberikan dua opsi, pertama, harga jual barang dinaikkan untuk kompensasi tarif baru. Kedua, pelaku usaha UMKM meminta kepada konsumen membayar menggunakan metode transaksi lainnya seperti uang tunai,” jelasnya.
“Sebenarnya skema MDR 0% tetap menguntungkan pihak jasa pembayaran dan perbankan karena bisa menawarkan layanan fee based income lainnya. Ada dana murah dari konsumen QRIS yang diparkir di perbankan,” tambahnya.
Di sisi lain, Bhima mengungkap ada sejumlah keuntungan bagi pedagang yang memfasilitas pembayaran menggunakan QRIS. Pertama, transaksi lebih efisien dan cepat terutama ketika sedang ramai pembeli, kedua menghindari human error dalam penghitungan transaksi secara tunai.
Sementara keuntungan untuk konsumen, pertama tidak perlu membawa dompet dalam transaksi cukup membawa smartphone. Kedua, lebih aman dan menghindari uang palsu, dan ketiga banyak promo dan diskon dengan cara pembayaran QRIS.
“Mencegah tindak kejahatan dibanding transaksi uang tunai karena pedagang tidak perlu sering menyetor uang ke bank. Pencatatan keuangan menjadi lebih mudah karena uang langsung masuk ke rekening,” tuturnya.
Sumber : detikcom