BANDUNG – Hampir setiap hari berbagai media sering dihiasi oleh informasi seputar pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) yang menyerang hampir seluruh negara di dunia. Setiap orang tentu berharap agar wabah ini segera sirna sehingga berbagai aktivitas kehidupan bisa kembali normal seperti sediakala.
Pandemi ini bukan hanya masalah kesehatan semata, tetapi juga telah berdampak pada permasalahan ekonomi yang menyokong kehidupan umat manusia. Bagi orang yang mendapatkan gaji tetap setiap bulan mungkin tidak terlalu khawatir, tetapi bagi mereka yang kehidupan sehari-harinya mengandalkan pada aktivitas harian tentu menjadi masalah yang krusial.
Sekitar 2 bulan sudah masyarakat dihimbau untuk tetap tinggal di rumah melalui kebijakan Pemerintah yang disebut Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tetap tinggal di rumah secara konsep bisa dianggap ideal, tetapi dalam praktek tentu tidak mudah untuk dilakukan. Baik karena kebutuhan dan tuntutan ekonomi keluarga, maupun ada juga sebagian yang merasa sudah bosan berkurung diri.
Namun demikian, Pemerhati Sosial Kemasyarakatan Dede Farhan Aulawi mengingatkan bahwa memasuki new normal harus dibarengi dengan kesadaran kolektif masyarakat untuk tetap memperhatikan protokol kesehatan, sebab jika abai bisa menimbulkan masalah lonjakan baru penderita Covid-19 ini atau yang biasa dikenal dengan istilah gelombang kedua pandemi.
“Apalagi WHO sudah menyampaikan bahwa virus corona berpotensi menjadi endemik baru yang hidup di tengah masyarakat. Virus corona ini diprediksi tidak akan pernah hilang, sebagaimana virus HIV yang sampai hari ini masih ada,” ujarnya.
Dalam menghadapi situasi yang serba sulit ini, memang ada beberapa pilihan kebijakan. Setiap pilihan kebijakan yang akan diambil tentu selalu ada resiko plus minusnya. Tentu semua berdasarkan pada masukan para ahli di bidangnya masing masing.
Salah satu opsi yang akhirnya akan diambil adalah apa yang disebut New Normal, yaitu setiap orang diberi kebebasan untuk melakukan kembali aktivitas hariannya secara normal tetapi tetap berpedoman pada protokol kesehatan, seperti jaga jarak, tidak kontak fisik, jaga kebersihan, cuci tangan, dan lain lain.
“Kantor dibuka, pusat perbelanjaan dibuka, anak anak sudah mulai sekolah, para pekerja mulai lagi bekerja, dan masyarakat sudah beraktivitas kembali. Artinya segala aktivitas normal sudah diijinkan kembali, namun harus disertai kedisiplinan dengan perilaku baru sebagaimana ditetapkan protokol kesehatan,” tegas Dede.
Kemudian Dede juga selalu mengingatkan bahwa model New Normal jika tidak diimbangi dengan kedisiplinan perilaku sehat dapat berpotensi memunculkan gelombang kedua pandemi yang dampaknya bisa lebih parah dari gelombang pertama.
Memasuki New Normal bukan berarti bebas merdeka semaunya sendiri. Kemampuan dan kesadaran untuk mengatur diri sendiri secara lebih disiplin menjadi sangat penting. Tanpa kedisiplinan bisa lonjakan kematian.
Bahkan layanan kesehatan bagi penderita penyakit kanker, diabetes dan lainnya bisa tertunda karena rumah sakit kewalahan menangani pasien infeksi virus corona. Contoh yang sederhana saja, orang orang yang sedang mengalami sakit gigi saat ini mengalami kesulitan karena banyak tenaga medis yang takut untuk kontak dengan pasien-nya.
Profesor Mandeep Mehra dari Harvard Medical School menjelaskan bahwa saat terinfeksi virus, tubuh seseorang otomatis mengeluarkan imun bawaan. Proses ini melibatkan protein bernama Interferon, yang bertugas menghambat kemampuan virus berkembang biak dalam sel tubuh seseorang.
Interferon juga mengomando sel daya tahan tubuh lain untuk menyerang virus agar tidak menyebar ke bagian tubuh lain. Respons awal ini sebenarnya bisa membuat tubuh bisa mengendalikan infeksi, namun virus juga memiliki pertahanan untuk melepaskan diri dari protein interferon.
Respons imun bawaan ini biasanya menimbulkan gejala sakit di tubuh. Misalnya saja gejala demam sesungguhnya muncul untuk mengingatkan tubuh tentang adanya serangan virus dari luar. Perlu diketahui juga bahwa virus corona SARS-CoV-2 ini bisa masuk ke tubuh dengan menempel pada protein yang disebut reseptor ACE2.
Dikatakannya, Reseptor ini paling banyak terdapat di paru-paru, oleh karenanya Covid-19 dianggap sebagai penyakit pernapasan. Namun, jumlah reseptor ACE2 terbanyak kedua ada di usus, sehingga banyak orang yang terinfeksi virus corona mengalami diare.
Oleh karena itu sekali lagi agar jangan bosan untuk terus mengingatkan pentingnya beraktivitas normal tetapi juga harus disiplin dengan protokol kesehatan. Kasus flu spanyol tahun 1918 harus menjadi pelajaran yang berharga bahwa korban terbanyak atas wabah tersebut di saat gelombang kedua saat masyarakat di kota Philadelphia mengabaikan protokol kesehatan.
“Namun demikian, menggugah kesadaran masyarakat banyak ini tentu tidak mudah dan harus dilakukan secara persuasif,” pungkas Dede mengakhiri pembicaraan di Bandung, Sabtu (30/5/2020).