PEKANBARU – Wacana pembentukan Daerah Istimewa Riau terus bergulir. Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau saat ini tengah merampungkan naskah akademis terkait usulan tersebut, dan progresnya sudah mencapai sekitar 85 persen.
Namun, rencana itu mendapat sorotan dari Anggota DPR RI Dapil Jawa Barat, Dede Yusuf Macan Effendi. Ia mengaku belum melihat dasar kuat yang melatarbelakangi Riau mengajukan perubahan status menjadi daerah istimewa.
Menurut Dede, setiap daerah memang memiliki kesempatan untuk mengusulkan status khusus, seperti halnya Solo yang pernah mengajukan Daerah Istimewa Solo.
“Nah kita kembali saja kepada undang-undang, urgensi buat rakyatnya apa? Jadi mengusulkan boleh, tidak ada masalah, tapi urgensi bagi rakyatnya apa? Harus ada nilainya,” ujar Dede, Rabu (13/8/2025).
Lebih lanjut, Dede menegaskan bahwa faktor utama dalam penetapan daerah istimewa adalah nilai manfaat bagi masyarakat. Jika konteksnya hanya soal pendapatan asli daerah, hal itu menurutnya bisa diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu), tanpa harus mengubah status daerah.
“Sekarang kita tidak usah lihat jauh-jauh, daerah IKN (Ibu Kota Nusantara) saja tidak jalan-jalan sampai sekarang,” tambahnya.
Politisi Partai Demokrat ini menilai, setiap keputusan untuk mengubah status daerah akan membawa konsekuensi panjang dan membutuhkan upaya besar. Ia mencontohkan pemberlakuan Otonomi Khusus (Otsus) di Papua dan Aceh yang sudah berjalan bertahun-tahun, namun belum sepenuhnya memberikan dampak signifikan bagi kesejahteraan masyarakat.
“Kita bicara Otonomi Khusus (Otsus) saja seperti Papua dan Aceh yang sudah sekian tahun lamanya. Tapi ternyata kalau ditanya apakah bisa menjadikan perkembangan bagi masyarakatnya, ternyata belum juga,” ungkap Dede.
Oleh sebab itu, ia mendorong agar kajian lebih dalam dilakukan, terutama terkait urgensi dan kesiapan Riau jika benar-benar ingin menjadi daerah istimewa.
“Kemudian apakah kesanggupannya memang disesuaikan dengan kebutuhan yang bukan untuk daerahnya sendiri, tapi juga daerah sekitarnya,” pungkasnya.
Source : Cakaplah