PEKANBARU – Penolakan keras terhadap Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) marak terdengar beberapa bulan terakhir. Mulai dari pemerintah Kota Pekanbaru, Provinsi Riau hingga para legislatornya kompak bahwa LGBT harus dihapuskan bagaimanapun caranya.
Alasannya, tentu saja karena bertentangan dengan agama Islam dan adat istiadat Melayu yang sangat dijunjung oleh masyarakat Riau. LGBT dikhawatirkan dapat merusak generasi penerus bangsa ibarat virus yang menular.
Tak tanggung-tanggung, Gubernur Riau Syamsuar bahkan mengancam pemberian sanksi kepada ASN di lingkungan Pemprov Riau jika terbukti bagian dari LGBT.
“Bagi yang ikut LGBT saya minta segera berubah dan bertaubat serta beribadah memohon ampun sang pencipta, karena kegiatan tersebut mendatangkan murka Allah SWT,” kata Syamsuar, 29 Desember 2022 lalu.
Meski ucapan Syamsuar itu dikritik oleh LBH Pekanbaru sebagai abuse of power dan bentuk diskriminasi yang tidak memiliki dasar hukum serta melanggar HAM tak menyurutkan pejabat dan legislator lain untuk mendukung ucapan Syamsuar.
Tambah lagi Pj Walikota Pekanbaru, Muflihun, sudah beberapa bulan gencar mengerahkan para aparat penegak hukum seperti kepolisian dan Satpol PP untuk menyisir lokasi-lokasi yang diduga sebagai tempat berkumpulnya LGBT yaitu tempat hiburan malam, hotel, wisma dan kos-kosan.
Politisasi Momen?
Puncaknya pada Minggu dini hari, 28 Mei 2023 lalu, sebanyak 57 pasangan diamankan Satpol PP Kota Pekanbaru dari dua wisma di Kecamatan Sukajadi.
Kepala Satpol PP Pekanbaru, Zulfahmi Adrian, menjelaskan bahwa dalam penggeledahan kamar-kamar wisma, empat perempuan ditemukan berada dalam satu kamar, sementara beberapa laki-laki diduga terlibat dalam hubungan sesama jenis atau LGBT.
Namun di berbagai media disebutkan bahwa 57 pasangan tersebut semuanya merupakan LGBT, meskipun Zulfahmi menyebut 8 diantaranya ditangkap karena penyalahgunaan narkoba, bukan karena LGBT.
Kabar mengenai penangkapan ini kemudian berkobar seperti api menyulut bensin. Pejabat pemerintahan, legislator dan tokoh masyarakat beramai-ramai membuat pernyataan agar LGBT dimusnahkan dari Bumi Lancang Kuning.
“Ini tentunya tidak bisa dibiarkan. Kita tidak ingin ada kaum LGBT ini di kota pekanbaru. Kota yang penuh syariat Islam dan berbudaya Melayu, tak pantas ada komunitas terlarang ini,” kata Sigit Yuwono, anggota Komisi I DPRD Kota Pekanbaru.
Namun sebenarnya, arus perlawanan terhadap LGBT yang sebenarnya sudah lama terdengar di Kota Pekanbaru. DPRD Kota Pekanbaru beberapa kali mengeluarkan wacana pembentukan Peraturan Daerah (Perda) pelarangan LGBT, meskipun belum ada kejelasannya hingga sekarang.
Kali ini DPRD Riau dan Pemprov Riau juga mengamini wacana tersebut. Wakil Ketua DPRD Riau, Agung Nugroho, bahkan mendesak Pemprov Riau untuk segera merumuskan Perda Anti LGBT. Jika tidak, ia dan fraksinya yang akan menginisiasi.
“DPRD riau meminta pemerintah daerah, Pemprov segera membahas bersama-sama dan mengusulkan agar segera dibentuk Perda anti LGBT. Paling lama, bulan depan DPRD sudah menginisiasi terkait Perda LGBT ini. Kita akan dorong melalui fraksi demokrat,” kata dia, Senin (5/6/2023).
Agung juga memperingatkan soal pembatasan terhadap laki-laki yang berperilaku seperti perempuan atau sebaliknya di ruang-ruang publik.
Menanggapi itu, Andreas Harsono, peneliti kawasan Indonesia di Human Rights Watch (HRW/Organisasi Hak Asasi Manusia) mengatakan bahwa ada hal-hal lain yang lebih penting dilakukan pemerintah dan parlemen di Riau daripada membentuk Perda tersebut.
“Pemerintah dan parlemen Riau seyogyanya berpikir bagaimana bantu orang seksualitas non-binair, termasuk anak-anak, untuk mendapatkan counselling maupun pelayanan medis buat menghadapi kesulitan yang mereka hadapi,” kata dia saat dihubungi halloriau.com, Selasa (6/6/2023).
Andreas dan banyak aktivis kemanusiaan lainnya menyebut retorika anti LGBT yang tajam dari pejabat pemerintah memberikan perlindungan politik untuk kekerasan dan diskriminasi.
Lagipula, lanjut Andreas, seksualitas adalah sesuatu yang sangat dalam serta bukan binair, lelaki dan perempuan.
“Ia juga sudah dimengerti dalam berbagai adat di Nusantara, ratusan tahun, bahkan jauh sebelum ada kolonialisme Belanda. Tidak ada gunanya bikin aturan-aturan buat diskriminasi terhadap orang lesbian, gay, waria dan biseksual karena ia melawan hukum alam. Ia hanya akan jadi bahan tertawaan bila kelak sejarah ditulis,” sebutnya.
Lantas, bagaimana sebenarnya sejarah LGBT serta keberagaman gender di Indonesia? Benarkah LGBT merupakan budaya Barat yang sengaja disebarkan untuk merusak generasi muda Indonesia, seperti yang banyak disampaikan oleh para politisi dan pejabat pemerintahan?
Sejarah Keberagaman Gender di Indonesia
Isu yang beredar di masyarakat bahwa LGBT merupakan pengaruh buruk yang dibawa dari Barat sudah lama dibantah oleh banyak antropolog dan peneliti di Indonesia.
Sebab secara kultural, Indonesia sebenarnya memiliki berbagai budaya atau tradisi yang mengakui keberagaman seksual dan gender. Hal ini tercatat dalam sejarah dan masih bisa dilihat sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari hingga saat ini.
Seperti di masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan. Suku Bugis mengenal lima jenis gender yaitu laki-laki (oroane), perempuan (makkunrai), laki-laki menyerupai perempuan (calabai), perempuan menyerupai laki-laki (calalai), dan pendeta androgini (bissu).
Masyarakat Toraja juga mengakui gender ketiga selain laki-laki dan perempuan yang disebut to burake tambolang. Di masa lalu, bissu dan to burake justru memainkan peran penting dalam komunitas adat dengan menjadi pemimpin upacara spiritual.
Dalam kesenian, masyarakat tradisional Jawa sudah lama menunjukkan laki-laki memainkan peran sebagai perempuan dan sebaliknya. Seperti pada pertunjukan ludruk, wayang orang, hingga dalam tarian tradisional reog ponorogo.
Namun, tentu kenyataan sejarah dan praktik budaya ini tidak disetujui semua orang. Pandangan masyarakat Indonesia secara umum termasuk yang terjadi di Provinsi Riau terhadap komunitas LGBT masih di seputar isu penyakit sosial dan ajaran agama yang mesti dipisah dari kebudayaan serta adat istiadat.
Pandangan Islam
Berbicara dari sudut pandang ajaran agama Islam, di dalam Al Qur’an dan hadits sudah sering disebutkan mengenai kisah umat Nabi Luth yang menerima hukuman dari Allah karena perilaku seks sesama jenis.
Ayat-ayat ini sekaligus membuktikan bahwa perilaku seksual sesama jenis sudah terjadi ribuan tahun lalu pada umat manusia jauh sebelum terbentuknya konsep-konsep modernitas yang sering dijadikan kambing hitam sebagai pembentuk perilaku LGBT.
Islam tak hanya mengakui keberadaan LGBT, tapi juga dengan tegas melarangnya. Jangankan melakukan hubungan seks sesama jenis, ajaran agama Islam juga melarang laki-laki berpenampilan seperti perempuan dan sebaliknya seperti yang tertera di dalam hadits Al-Bukhâri, no. 5885; Abu Dawud, no. 4097; Tirmidzi, no. 2991 yang berbunyi “Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki”.
Tak hanya kecaman dari MUI Riau, MUI pusat sendiri telah mengeluarkan Fatwa Nomor 57 Tahun 2014 Tentang Lesbian, Gay, Sodomi dan Pencabulan. Di dalam fatwa tersebut ditegaskan bahwa perilaku LGBT merupakan tindak pidana yang harus diberi hukuman tegas dan melegalkan aktivitas seksual sesama jenis dan orientasi seksual menyimpang lainnya haram.
Di sisi lain, fatwa MUI itu juga mendapat banyak kritikan dari aktivis kemanusiaan sebab menyamaratakan LGBT yang merupakan urusan seksualitas yang dimiliki individu dengan pencabulan yang jelas-jelas merupakan kejahatan kepada manusia lain.
Meski di dalam fatwa itu MUI juga tidak menutup kemungkinan agar LGBT diberi konseling, pendampingan dan rehabilitasi agar sembuh dari penyimpangan itu, hal ini dinilai kontradiktif karena sekaligus meminta aparat penegak hukum menindak tegas LGBT dan memberi hukuman kalau perlu hukuman mati jika memang terbukti melakukan hal-hal yang dilarang oleh syariat.
Kekhawatiran Persekusi Pada Kelompok Rentan
Menanggapi segala hal tersebut, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru menekankan kepada masyarakat dan pemimpin pemerintahan agar melihat persoalan LGBT ini dalam kacamata kemanusiaan.
Andi Wijaya, Direktur LBH Pekanbaru, mengatakan bahwa ide Perda larangan LGBT sangat berpotensi terjadinya diskriminasi terhadap kelompok tertentu warga negara. Tidak terkecuali kelompok minoritas yang berorientasi seksual berbeda seperti LGBT.
“Sudah jelas dalam UUD dan UU HAM setiap orang memiliki hak perlindungan yang sama di hadapan hukum. Kita berharap setiap peraturan daerah itu harus mengacu kepada UUD tanpa adanya diskriminasi terhadap kelompok tertentu,” kata dia.
Andi khawatir jika Perda larangan LGBT itu disahkan akan membuka peluang besar terjadinya persekusi. Persekusi adalah perburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga, dan kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas.
Perda itu disebut Andi akan membuka peluang sebesar-besarnya terhadap penganiayaan secara sistematis kepada individu tertentu dan hal ini jelas merupakan sebuah pelanggaran HAM.
Kekhawatiran yang sama juga disampaikan beberapa tahun lalu oleh LBH Masyarakat dengan mengeluarkan Seri Monitor dan Dokumentasi 2018 Bahaya Akut Persekusi LGBT.
Di dalam seri tersebut disebutkan banyak stigma yang salah di tengah masyarakat mengenai LGBT. Persekusi yang kemudian lahir karena stigma itu pun merajalela karena banyaknya pihak yang memandang LGBT sebagai persoalan hitam-putih dan percaya bahwa orientasi seksual seseorang bisa dilihat secara kasat mata.
Persekusi yang sempat viral terjadi adalah persekusi terhadap dua orang laki-laki yang dilakukan oleh seseorang dengan mengunggah sebuah video yang menuduh keduanya sebagai pasangan homoseksual. Si perekam video beranggapan bahwa keakraban yang ditunjukkan kedua laki-laki itu tidak wajar.
Setelah muncul pernyataan dari keluarga yang membuktikan bahwa kedua laki-laki tersebut adalah kakak-adik kandung, pelaku mendapatkan kecaman balik dari publik. Ia akhirnya mengaku bersalah telah mempermalukan orang lain dan melanggar privasi dengan cara mengambil gambar tanpa persetujuan orang
tersebut dan menyebarkan spekulasi pribadinya yang belum tentu benar.
Pada kesimpulannya, urusan LGBT ini dianggap hanya akan membuka peluang untuk mengusik ranah privasi seseorang bahkan tanpa adanya laporan keresahan dari masyarakat. Laki-laki yang terlihat lembut akan dituduh sebagai gay dan perempuan yang terlihat tegas serta gemar berpakaian seperti laki-laki akan dituduh lesbian. Padahal, orientasi seksual dan ekspresi gender adalah dua hal yang sangat berbeda.
Lantas, apa yang harus kita lakukan? Itu adalah pertanyaan yang sepertinya masih sulit dijawab hingga saat ini jika ingin mengakomodir seluruh pendapat.
Sumber: halloriau