BERITA

Nenek Tukang Soto Inspiratif

1032
×

Nenek Tukang Soto Inspiratif

Sebarkan artikel ini

DITENGAH tiupan angin malam yang cukup dingin, aku ikuti kemauan perut laparku menuju salah satu pasar tradisional di kota Bandung. Di sana ada salah satu pedagang langganan yang masakannya dirasa cukup cocok untuk ukuran lidahku.

Belum sampai ke tujuan, ternyata mulai turun hujan. Meskipun hujannya tidak terlalu besar, namun tiupan angin cukup membuat tubuhku menggigil kedinginan. Akhirnya ku berusaha lihat kiri kanan untuk mencari tempat berteduh, sekalian istirahat melepas lelah.

Nun jauh di sebelah kiri jalan, ada pedagang soto dorong yang kelihatannya sepi. Akhirnya sepeda motorku, menepi di tukang soto itu sekedar untuk ikut berteduh saja. Sekaligus muncul niatku untuk sekalian beli soto yang ada saja, daripada harus memaksakan ke pasar yang masih cukup jauh dengan resiko pakaian basah kuyup.

Ku matikan sepeda motorku sambil menepi sambil kukatakan, “Nek tolong buatkan 1 mangkok soto ya,” pintaku padanya. Akupun dipersilahkan duduk, sambil mengelap tempat duduk dan meja jualan yang agak basah kehujanan. Saya memanggilnya nenek, karena penjualnya seorang ibu yang kelihatannya sudah cukup sepuh. Perkiraanku mungkin usia 65–70 tahunan.

Ternyata rasa soto tersebut lumayan enak, apalagi perut lapar mulai sulit diajak kompromi. Tentu saja soto tersebut ku lahap habis, sambil menyeruput air teh hangat yang disediakan. Setelah selesai makan, aku bertanya “Nek berapa sotonya?”, lalu nenek tersebut menjawab “ Rp.5.000,- saja pak,”

Saya merasa kaget dengan jawaban nenek tukang soto tersebut karena harganya saya nilai terlalu murah. Masa hari gini yang mana semua serba mahal, apalagi di tengah pandemi wabah Covid-19 yang terus meluas, masa ada pedagang makanan yang masih menjual dengan harga yang sangat murah.

Terjadi lagi dialog antara aku dan nenek tersebut :
Saya : “Nek apa gak salah dengar, harganya kok Rp. 5.000,- ?”
Nenek : “iya emang segitu nenek biasa jualannya”
Saya : “Apa nenek gak rugi dan berniat menaikan harga, misal Rp. 10.000,- seperti pedagang yang lain juga umumnya harganya segitu,” tanyaku.
Nenek : “Ah ngak usah pak, kasihan masyarakat kecil yang ingin makan gak bisa beli kalo harganya mahal“.
Saya : “Tapi kan kalau harga Rp. 10.000,- mah wajar saja bukan mahal, nek“.
Nenek : “Mungkin iya pak buat sebagian masyarakat. Tapi sebagian masyarakat lain merasakan saat ini terlalu berat beban kehidupannya. Masa kita ingin ikut memperberat lagi beban rakyat kecil. Jangankan dinaikkan menjadi Rp. 10.000,-. Menaikan harga jadi Rp. 6.000,- saja, nenek mah gak berani. Takut ditanya di alam kubur nanti, kenapa kamu hidup mempersulit orang lain? menyulitkan orang lain? Nenek mah takut dipersulit di alam kubur nanti, jadi di dunia ini, nenek tidak mau mempersulit orang lain. Bagi nenek bisa menyambung hidup untuk makan saja sudah cukup karena sebesar apapun harta yang dimiliki tidak akan dibawa mati. Nenek gak perlu kaya, karena takut pertanggungjawabannya di yaumul akhir nanti sangat berat,” pungkasnya.
Saya : “Nenek pernah pesantren atau suka ikut pengajian dimana nek?”
Nenek : “Tidak pak. Nenek mah orang tidak berpendidikan. Hanya sering ingat pesan almarhum orang tua dulu, agar kita tidak menyusahkan orang lain. Mungkin kita hidup susah, tapi pantang untuk menyusahkan orang lain. Kasihan pak, rakyat saat ini hidupnya banyak yang kesusahan. Nenek mah tidak mau menjadi beban siapapun. Meskipun nenek sekolah SD saja tidak tamat, tapi nenek ingin hidup mulia di akhirat kelak. Nenek takut menjadi orang yang dianggap mulia di mata dunia, tapi menjadi orang hina di akhirat“.

Dengan nada berat, sambil berurai air mata, dia berusaha menyeka wajahnya yang keriput dan tangannya yang renta. Secara reflek ku ambilkan tisu, dan ku hapus air matanya. Aku tertegun heran, bangga dan malu, karena secara jujur hatikupun sangat tersentuh dan meneteskan air mata juga. Ya malam ini aku dapat pelajaran yang berharga. Meski bukan dari seorang terpandang, tapi di mataku pandangan dan nilai–nilai hidupnya sungguh mulia.

Tak lupa kuucapkan terima kasih banyak atas perbincangan malam itu. Lalu ku bayar dengan sedikit lebih pada nenek tadi, akupun pamit pergi untuk melanjutkan perjalanan ke pasar karena ada titipin anak yang harus dibeli. Aku jadi teringat almarhum ibuku… tak terasa air mata ini menetes kembali. Mengingat sebelum puasa juga tidak sempat ziarah ke pemakamannya di Tasikmalaya, karena keburu ada penerapan kebijakan PSBB yang meminta kita “Stay at Home”.

Ku nyalakan kembali sepeda motorku dan setelah pamit sama nenek penjual soto tersebut, aku pun berangkat. Disepanjang perjalanan aku meresapi dan merenungi perkataan nenek tukan soto tadi. Banyak nilai–nilai kehidupan yang sangat berharga. Ternyata pelajaran yang luhur tidak harus dari orang yang gelarnya berjejer, cukup dari nenek yang tidak tamat SD saja, hati dan jiwaku tersentuh untuk lebih peduli pada sesama.

Orang yang tidak berpendidikan saja punya nilai dan pandangan hidup yang sangat luhur untuk tidak menyusahkan dan memberatkan orang lain. Tapi kenapa saat ini tidak sedikit orang yang sudah “kaya dan pinter” saja, fikirannya masih banyak yang mementingkan diri sendiri. Mungkin mereka lupa bahwa sukses itu bukan seberapa besar kekayaan yang dimiliki, tapi sejauhmana kehadiran kita bisa memberi manfaat buat orang lain. Permudah orang lain, bantu orang lain dan jangan mempersulit orang lain. Percayalah orang yang suka mempersulit orang lain, maka kehidupan setelah kematiannya akan banyak mendapat kesulitan, seperti yang dikatakan nenek tadi.

Sesampai di pasar aku membeli beberapa makanan pesanan anak, lalu kembali ke rumah melewati jalan yang kulalui tadi. Saat kembali aku melirik ke sebelah kanan melihat nenek yang jualan soto tadi, tetapi nenek itu sudah tidak tampak lagi alias tidak ada. Aku tidak berfikir yang aneh–aneh, mungkin nenek tadi jualannya sudah habis dan pulang ke rumahnya.

Aku menyesal kenapa tadi tidak meminta alamat rumahnya, mungkin suatu saat jika ingin berbagi bisa diantar ke rumahnya. Tapi ya sudahlah, karena tadi memang lupa tidak nanya mau diapakan lagi. Padahal akupun masih perlu banyak belajar ilmu–ilmu kehidupan dari mereka. Sebab boleh jadi mereka yang dipandang hina di mata manusia, justeru lebih mulia di sisi Allah SWT.

Keesokan harinya aku penasaran dan melalui jalan tadi untuk membeli soto lagi, tapi nenek tidak jualan. Di hari–hari berikutnya sampai 3 atau 4 kali aku lewat lagi jalan itu, tapi tidak jualan juga. Penasaran saya tanyakan ke abang tukang ojek yang mangkal di seberang jalan. Tapi dia jawab tidak tahu, dan katanya tidak pernah ada yang jualan di sana.

Baiklah fikirku. Mungkin esok, lusa atau hari–hari berikutnya aku ingin beli soto itu lagi sambil ngobrol–ngobrol ilmu kehidupan yang kaya akan hikmah sebagai panduan. Mudah–mudahan bisa ketemu lagi ya untuk memperolah manfaat dan inspirasi cerdas agar bisa lebih mawas.

Oleh Dede Farhan Aulawi