BERITA

Kompolnas Jelaskan Aturan Penggunaan Senjata Api Oleh Aparat

1080
×

Kompolnas Jelaskan Aturan Penggunaan Senjata Api Oleh Aparat

Sebarkan artikel ini
Komisioner Kepolisian Nasional (Kompolnas) Republik Indonesia, Dede Farhan Aulawi

BANDUNG – Menanggapi beberapa kasus terkait dengan penggunaan senjata api oleh aparat, di media sosial ramai berbagai komentar dan pandangan netizen yang beragam. Pandangan semakin melebar kemana mana menurut persepsinya masing masing yang hanya bersumber dari suatu berita tanpa mengetahui secara utuh kronologi peristiwa dan kejadian di lapangan.

Karena memang untuk mengetahui duduk perkara sebenarnya tentu harus melalui proses penyelidikan terlebih dahulu, termasuk pemeriksaan keterangan dari para saksi yang mengetahui peristiwa dimaksud.

Untuk menghindari bias pemahaman yang beragam terkait aturan penggunaan senjata api oleh aparat, media mewawancarai Komisioner Kompolnas RI Dede Farhan Aulawi melalui sambungan telpon seluler, Sabtu (15/5/2020).

“Dasar hukum penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian tertuang dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, dan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia,” ujar Dede.

Selanjutnya Dede juga menjelaskan lebih rinci aturan tersebut dengan merujuk pada Pasal 47 Perkapolri 8/2009 yang menyebutkan bahwa Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.

Kemudian senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk dalam hal menghadapi keadaan luar biasa, membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat, membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat, mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang. Menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa, dan menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.

Merujuk Pasal 8 ayat [1] Perkapolri 1/2009 tentang Penggunaan senjata api oleh polisi dilakukan apabila tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat. Kemudian, anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut. Selain itu, anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.

Jadi pada prinsipnya penggunaan senjata api merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka (Pasal 8 ayat [2] Perkapolri 1/2009). Dan hanya digunakan saat keadaan adanya ancaman terhadap jiwa manusia.

Sebelum menggunakan senjata api, polisi harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara (Pasal 48 huruf b Perkapolri 8/2009) menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang bertugas. Kemudian, memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya. Selain itu memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi

Sebelum melepaskan tembakan, polisi juga harus memberikan tembakan peringatan ke udara atau ke tanah dengan kehati-hatian tinggi dengan tujuan untuk menurunkan moril pelaku serta memberi peringatan sebelum tembakan diarahkan kepada pelaku (Pasal 15 Perkapolri 1/2009).

“Pengecualiannya yaitu dalam keadaan yang sangat mendesak di mana penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain di sekitarnya, peringatan tidak perlu dilakukan (Pasal 48 huruf c Perkapolri 8/2009).” ujar Dede.

Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan karena penggunaan senjata api, petugas polisi yang bersangkutan wajib membuat penjelasan secara terperinci tentang alasan penggunaan senjata api, tindakan yang dilakukan dan akibat tindakan yang telah dilakukan (Pasal 49 ayat [2] huruf a Perkapolri 8/2009).

Selain itu, setelah menggunakan senjata api, polisi harus membuat laporan terperinci mengenai evaluasi pemakaian senjata api. Laporan tersebut berisi antara lain (Pasal 14 ayat [2] Perkapolri 1/2009) yaitu tanggal dan tempat kejadian, uraian singkat peristiwa tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, sehingga memerlukan tindakan kepolisian.

Kemudian, alasan/pertimbangan penggunaan kekuatan, rincian kekuatan yang digunakan, evaluasi hasil penggunaan kekuatan, akibat dan permasalahan yang ditimbulkan oleh penggunaan kekuatan tersebut.

Laporan inilah yang akan digunakan untuk bahan pertanggungjawaban hukum penerapan penggunaan kekuatan, serta sebagai bahan pembelaan hukum dalam hal terjadi gugatan pidana/perdata terkait penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh anggota Polri yang bersangkutan (Pasal 14 ayat [5] huruf e dan f Perkapolri 1/2009).

Jadi pada prinsipnya, setiap individu anggota Polri wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan penggunaan kekuatan (senjata api) dalam tindakan kepolisian yang dilakukannya (Pasal 13 ayat [1] Perkapolri 1/2009).

Oleh karena itu, kita tidak bisa menjeneralisir satu kasus dengan kasus lainnya. Untuk mengetahui dalam suatu kasus apakah ada pelanggaran atau tidak harus dilihat dari kronologis kejadian yang terjadi di lapangan.

Dede juga percaya penyelidikan yang dilakukan penyidik yang berasal dari internal Polri dan Divisi Profesi dan Pengamanan Polri akan objektif dan profesional. “Jika masih ada ketidakpuasan bisa juga dilaporkan ke pengawas eksternal seperti Kompolnas, Ombudsman, Komnas HAM dan lain lain,” pungkas Dede.