SINGAPURA – Media OutReach Newswire – Keajaiban sinema Prancis kembali hadir memikat para penonton saat vOilah! French Film Festival menayangkan edisi ke-41 di berbagai layar bioskop di Singapura dari 13 hingga 30 November 2025. Festival tahun ini menyoroti kisah-kisah tentang keberanian, imajinasi, dan hubungan antarmanusia, cerminan bagaimana para pembuat film Prancis terus menerangi pengalaman universal melalui karya mereka.
“Sinema tetap menjadi pilar penting dalam kemitraan budaya kami, mencerminkan kekuatan abadi dan aspirasi bersama antara Prancis dan Singapura. Di balik layar, setiap edisi festival ini merupakan hasil dari komitmen bersama—sebuah kemitraan antara kedua negara yang tumbuh melalui kreativitas, dialog, dan kepercayaan. Lewat film, kita saling bertukar ide, merayakan keberagaman, dan menemukan bagaimana kisah-kisah kita saling bergema lintas budaya. Edisi ke-41 vOilah! bukan hanya perayaan seni Prancis, tetapi juga ikatan yang terus bertumbuh antara kedua negara dan keyakinan bahwa budaya adalah salah satu jembatan terkuat bagi umat manusia,” ungkap Stephen Marchisio, Duta Besar Prancis untuk Singapura.
Mencerminkan semangat persahabatan lintas budaya ini, mitra festival Shaw Organisation terus mengukuhkan keyakinan bahwa sinema melampaui bahasa, menghubungkan manusia melalui kisah-kisah yang menginspirasi refleksi dan pemahaman.
“Film Prancis memiliki cara unik dalam menangkap jiwa manusia, menunjukkan bagaimana seni dapat menjembatani dunia dan menumbuhkan pemahaman. Kami berharap festival tahun ini, dengan kurasi program yang matang, tidak hanya menghibur tetapi juga menginspirasi refleksi, imajinasi, dan percakapan jauh setelah kredit akhir,” ungkao Christopher Shaw, Executive Vice-President Shaw Organisation.
Dari Halaman ke Layar: Tempat Kisah Berkembang
Hubungan panjang sinema Prancis dengan karya sastra menjadi sorotan utama dalam pilihan film tahun ini, mengubah novel terkenal dan peristiwa nyata menjadi pengalaman sinematik yang menyentuh.
13 Days 13 Nights (13 Jours 13 Nuits), disutradarai oleh Martin Bourboulon, mengadaptasi memoar Commander Mohamed Bida 13 jours, 13 nuits dans l’enfer de Kaboul menjadi thriller politik yang menegangkan. Roschdy Zem tampil kuat sebagai Bida yang memimpin tim perwira Prancis dalam evakuasi 13 hari saat jatuhnya Kabul, bersama Lyna Khoudri sebagai pekerja kemanusiaan muda Prancis-Afghanistan dan Sidse Babett Knudsen sebagai jurnalis Amerika. Film ini, yang tayang perdana di Festival Film Cannes 2025, menangkap adrenalin dan sisi kemanusiaan dari salah satu momen paling menentukan dekade ini.
Selain film tersebut, empat adaptasi lain menyoroti dialog kreatif antara sastra dan sinema: Dog 51 (Chien 51), Little Amélie or the Character of Rain (Amélie et la Métaphysique des Tubes), Dalloway, dan The Great Arch (L’Inconnu de la Grande Arche)—masing-masing menafsirkan karya sumbernya dengan cara yang sangat berbeda, dari introspeksi masa kecil hingga ketegangan psikologis dan ambisi arsitektur. Bersama-sama, kelima film ini menegaskan bagaimana sinema Prancis terus menghidupkan kata-kata dengan visual dan emosi yang kaya.
Menuju Ketidakpastian: Sinema Prancis dan Seni Fiksi Ilmiah
Memperluas fokus festival pada kisah imajinatif, jajaran film tahun ini juga merambah dunia fiksi ilmiah—genre yang memungkinkan sinema Prancis mengeksplorasi batas teknologi, identitas, dan keberadaan manusia.
Ditayangkan di Mostra Internazionale d’Arte Cinematografica, La Biennale di Venezia 2025 dan diadaptasi dari novel fiksi ilmiah Laurent Gaudé, Dog 51 (Chien 51) karya Cédric Jimenez membawa penonton ke Paris distopia yang terbagi kelas dan dikendalikan AI prediktif. Gilles Lellouche dan Adèle Exarchopoulos membintangi thriller bernuansa noir ini, mengaburkan batas antara pengawasan dan kebebasan.
Melanjutkan atmosfer futuristik Dog 51, Dalloway karya Yann Gozlan—dibintangi Cécile de France dan Mylène Farmer—masuk ke hubungan mengganggu antara pencipta dan ciptaannya ketika seorang novelis beralih pada AI untuk inspirasi, hanya untuk perlahan kehilangan kendali atas dirinya.
Dalam Alpha karya Julia Ducournau, drama emosional ibu–anak terungkap di tengah realitas baru yang menggelisahkan, mengaburkan batas tubuh, transformasi, dan kendali. Karya lain yang wajib ditonton adalah The Incredible Shrinking Man (L’Homme qui Rétrécit), di mana Jan Kounen menafsirkan ulang kisah eksistensial klasik, mengikuti Jean Dujardin sebagai pria biasa yang menghadapi dunia luas dan berbahaya setelah sebuah fenomena misterius mengubah dirinya. Keseluruhan film-film ini menunjukkan keberanian sinema Prancis menggunakan sains bukan sekadar untuk tontonan, tetapi sebagai jendela menuju kondisi manusia.
La Magie du Cinéma: Cerita untuk Semua Usia
Dari petualangan penuh keajaiban hingga kisah persahabatan yang lembut, festival ini menawarkan film untuk seluruh keluarga—mengingatkan bahwa kegembiraan bercerita tidak mengenal usia. Baik untuk penonton cilik yang pertama kali masuk bioskop, atau orang dewasa yang kembali mengenang masa kecil, jajaran film tahun ini menjanjikan tawa, keajaiban, dan cinta mendalam pada sinema.
Penonton muda dan dewasa dapat berpetualang bersama Moon the Panda (Moon le Panda) karya Gilles de Maistre, mengikuti Tian berusia 12 tahun (diperankan Noé Liu Martane) yang berteman dengan seekor anak panda tersesat di pegunungan berkabut Tiongkok. Dengan penampilan dari Sylvia Chang, Liu Ye dan Alexandra Lamy, film ini menjadi penghormatan hangat untuk keberanian dan empati.
Film keluarga lain yang tak boleh dilewatkan adalah Little Amélie or the Character of Rain (Amélie et la Métaphysique des Tubes) karya Maïlys Vallade dan Liane-Cho Han, pemenang Public’s Choice Award di Annecy 2025. Film ini mengikuti seorang gadis Belgia kecil yang tumbuh di Jepang dan menemukan suka-duka kehidupan melalui mata kepolosan.
Sejarah dan Potret Pengaruh
Beberapa judul menginterpretasikan tokoh dan momen sejarah nyata melalui lensa Prancis. The Great Arch (L’Inconnu de la Grande Arche) karya Stéphane Demoustier—dibintangi Claes Bang dan Sidse Babett Knudsen—merefleksikan perjuangan monumental pembangunan La Grande Arche de la Défense, simbol modernisme Paris yang diprakarsai Presiden François Mitterrand. Intinya adalah potret seorang arsitek visioner yang terombang-ambing antara idealisme dan tekanan politik, didorong oleh pencarian kesempurnaan.
Tayangan lain mengeksplorasi kekuatan dan kompleksitas spirit manusia, termasuk The Richest Woman in the World (La Femme la Plus Riche du Monde) karya Thierry Klifa, dibintangi Isabelle Huppert sebagai miliarder misterius yang kekayaan besarnya menyembunyikan kehidupan ambisi dan kerentanan. Sebaliknya, Muganga, The One Who Treats (Muganga, Celui Qui Soigne) karya Marie-Hélène Roux menjadi penghormatan kepada Dr Denis Mukwege, dokter Kongo pemenang Nobel Perdamaian yang dikenal atas keberanian moralnya. Kedua film ini menawarkan potret mendalam tentang ketangguhan manusia.
Prancis di Layar Lebar: Jendela Kehidupan di Prancis
Bersiaplah terpikat oleh film-film yang menangkap esensi Prancis. Pilihan film ini membawa penonton melintasi suasana dan warna kehidupan Prancis—dari gemerlap catwalk Paris hingga sudut-sudut kota kecil yang tenang.
Couture (Coutures) karya Alice Winocour—dibintangi Angelina Jolie, Anyier Anei, Ella Rumpf dan Garance Marillier—memadukan glamor dan kefanaan dalam kisah yang mengalir di tengah hiruk pikuk Paris Fashion Week. Film ini merangkai perjalanan tiga perempuan—seorang pembuat film, seorang model, dan seorang makeup artist—yang bertemu dalam momen rapuh namun penuh solidaritas.
Kisah melintasi waktu Colours of Time (La Venue de l’Avenir) karya Cédric Klapisch adalah drama liris tentang keluarga, seni dan warisan ingatan. Ditayangkan perdana di Festival Film Cannes, film ini dibintangi Cécile de France dan Vincent Macaigne, menceritakan kisah warisan masa kini yang dijalin dengan perjalanan Paris abad ke-19.
Membawa Kekayaan Sinema Prancis Lebih Dekat kepada Semua Orang
Untuk menghadirkan sinema Prancis lebih dekat kepada semua orang, festival kembali bermitra dengan People’s Association untuk membawa tayangan PG-rated keluar dari bioskop tradisional menuju klub komunitas, hub komunitas terpadu dan ruang publik lainnya. Bekerja sama dengan Sentosa Development Corporation, pemutaran di ruang terbuka juga akan digelar di Pantai Palawan. Inisiatif ini melanjutkan tradisi panjang menghadirkan cerita ke tempat masyarakat berkumpul, menjadikan ruang keseharian sebagai bioskop. Melalui pemutaran gratis ramah keluarga ini, vOilah! membawa kegembiraan bercerita kepada audiens lintas generasi.
Pelajar dan warga lanjut usia juga dapat menikmati harga tiket khusus untuk pemutaran di Alliance Française dan Shaw Theatres, memastikan sinema Prancis tetap mudah dijangkau semua kalangan. Dengan harga tiket $11 (tiket reguler $16, dan $14,50 untuk anggota Alliance Française dan Singapore Film Society), festival terus berkomitmen menghadirkan keajaiban sinema bagi semua.
Bakat Prancis Mencerahkan Singapura
Penonton festival dapat menantikan kehadiran tamu istimewa, termasuk Gilles de Maistre (sutradara Moon the Panda) dan Garance Marillier (bintang Couture).
Mereka akan menghadiri pemutaran terpilih, sesi tanya jawab, dan lokakarya, memberikan wawasan mendalam bagi penonton Singapura mengenai seni dan inspirasi di balik film mereka.
Jadwalkan Pertemuan dengan Sinema Prancis
Edisi ke-41 vOilah! French Film Festival mengundang Anda untuk merasakan keajaiban sinema Prancis—penuh semangat, seni dan kehangatan. Jangan lewatkan jajaran film tahun ini, dari drama nyata yang menggugah hingga kisah keluarga yang mengangkat hati, dan tenggelamlah dalam cerita yang mengingatkan kita mengapa sinema terus menginspirasi, menghubungkan, dan menggerakkan kita semua.
Informasi lengkap seluruh film vOilah! French Film Festival 2025 dapat ditemukan di sini.
Untuk tiket dan informasi lebih lanjut mengenai vOilah! French Film Festival 2025, silakan kunjungi voilah.sg.
Untuk mengakses dan mengunduh gambar vOilah! French Film Festival 2025, silakan kunjungi tautan gambar festival.
The issuer is solely responsible for the content of this announcement.

















