Banner Go Green
TRAVEL

Jam Gadang Bukittinggi, Ikon Wisata dengan Keunikan Angka Romawi “IIII”

5
×

Jam Gadang Bukittinggi, Ikon Wisata dengan Keunikan Angka Romawi “IIII”

Sebarkan artikel ini
Jam Gadang. Foto : Kompasiana
Jam Gadang. Foto : Kompasiana

BERBELANJA di kawasan wisata memang selalu menggoda, apalagi di sekitar Jam Gadang yang dipenuhi deretan toko souvenir. Itulah yang saya alami ketika menemani istri dan buah hati singgah di setiap sudut pertokoan di ikon wisata Bukittinggi ini.

Namun, bagi saya yang tipikal “mageran”, situasi itu sempat terasa membosankan. Untungnya, saya bertemu kawan serombongan, Rahmat, yang juga sedang menunggu istrinya berbelanja. “Daripada menemankan mereka lebih baik kita cari tempat ngopi,” ajak saya sambil bertanya dimana rombongan lain.

Saat menuju pelataran Jam Gadang, saya melihat rombongan teman yang jomblo tengah asyik bercanda, ada yang tertawa, ada pula yang berselisih kecil. Mereka antara lain Da Cipto, Bang Iman, Bang Zainal, Da Hen, Da Iskosa, Om RH dan Om Toy.

Ketika saya bertanya apa yang terjadi, Da Iskosa langsung menunjuk ke arah Jam Gadang. “Awak tadi bertanya sama Om Toy, apa yang unik dari Jam Gadang itu,” katanya.

Saya pun menoleh, memperhatikan menara jam yang berdiri kokoh di jantung Kota Bukittinggi. Tiba-tiba saya teringat satu fakta menarik: angka romawi pada pukul empat ditulis dengan “IIII” bukan “IV”.

“Iyalah aneh, lihat saja angka romawinya,” celetuk saya sambil tertawa. Teman-teman pun ikut terbahak dengan keunikan tersebut.

“Iyalah Alink (Saya) tau, ini kampungnya,” ungkap Da Iskosa sambil tertawa.

Menurut salah seorang mentor kami, Da Cipto, Jam Gadang bukan sekadar penunjuk waktu. Menara ini adalah hadiah dari Ratu Wilhelmina untuk kota Fort de Kock (nama lama Bukittinggi).

“Jam Gadang satu-satunya di dunia yang pakai angka romawi IIII. Konon, karena kesalahan itu, Ratu Wilhelmina marah lalu menghadiahkannya ke Bukittinggi,” ujarnya sambil bercanda.

Meski terdengar seperti lelucon, faktanya Jam Gadang memang menyimpan banyak kisah sejarah. Dibangun pada 1925–1927 dengan biaya sekitar 3.000 gulden, menara ini dirancang arsitek Belanda Hendrik Roelof Rookmaaker dan dikerjakan oleh arsitek lokal Yazid Rajo Mangkuto.

Awalnya, atap Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan di puncaknya. Namun, setelah Indonesia merdeka, atap tersebut diganti dengan bentuk gonjong, khas arsitektur Minangkabau, sehingga tampil lebih ikonik hingga sekarang.

Kini, Jam Gadang menjadi simbol kebanggaan masyarakat Sumatera Barat. Tak hanya turis lokal, wisatawan mancanegara pun menjadikannya destinasi wajib ketika berkunjung ke Bukittinggi.

Dengan latar sejarah, keunikan arsitektur, dan cerita menarik di balik angka romawi “IIII”, menara ini bukan hanya sekadar jam raksasa, melainkan juga saksi perjalanan waktu sekaligus daya tarik utama pariwisata Minangkabau. (link)