GAYA HIDUP

Review Insidious: The Red Door: Mari Kembali ke Alam Arwah

3581
×

Review Insidious: The Red Door: Mari Kembali ke Alam Arwah

Sebarkan artikel ini
(Foto: Istimewa)

JAKARTA – Film Insidious: The Red Door sudah mulai tayang di bioskop seluruh Indonesia pada Kamis 13 Juli lalu, lantas bagaimana review film tersebut di kalangan masyarakat yang menyukai Genre horor tersebut.

Film tersebut melakukan hal yang cerdas dengan membuat karakter utamanya melupakan semua kejadian yang menimpa mereka di dua film pertamanya.

Dilansir dari detikHOT, Jumat (14/07), sudah 10 tahun yang lalu kita menyaksikan petualangan keluarga Lambert, tidak mengherankan jika penulis skripnya memilih untuk menekan tombol reset.

Setelah pembukaan ini, semua penonton bahkan yang tidak pernah menonton dua film pertama Insidious pun bisa mengikuti jalan ceritanya.

9 tahun setelah kejadian film keduanya, Dalton (Ty Simpkins) tidak mempunyai hubungan yang baik dengan bapaknya, Josh (Patrick Wilson).

Setelah prosesi penghilangan memori soal dunia arwah (atau The Further), Josh jadi tidak fokus yang akhirnya membuat hubungannya dengan istrinya, Renai (Rose Byrne) menjadi buruk dan akhirnya mereka pisah.

Renai mencoba membujuk Josh agar ia mempunyai hubungan yang baik dengan Dalton. Tapi sayangnya, Dalton tidak menerima itikad baik tersebut.

Setengah jam pertama Insidious: The Red Door, kita menyaksikan drama keluarga tentang anak dan bapak yang tidak akur. Kemudian Dalton yang merupakan mahasiswa seni datang ke kelas pertamanya.

Profesornya yang bernama Armagan (Hiam Abbass dari serial Succession) meminta murid-muridnya untuk tenggelam masuk ke dalam masa lalu mereka. Ketika Dalton membuka mata, ia melukis sebuah pintu. Dan di sinilah semua mimpi buruk terjadi lagi.

Susah untuk bisa menyamai kejeniusan Insidious yang sederhana tapi efektif. Film ‘murah’ garapan James Wan tersebut berhasil menghantui penonton, karena ia tahu benar bagaimana cara menakut-nakuti penonton. Wan luar biasa paham soal tempo, peletakan kamera, dan tentu saja penggunaan musik yang efektif untuk menakut-nakuti penonton.

Sebagai sebuah sekuel, Insidious: The Red Door jauh dari kata buruk. Film ini masih enak dinikmati. Ceritanya utuh meskipun temponya lambat, misinya pun jelas.

Kalau Anda jenis orang yang penakut, Insidious: The Red Door menampilkan beberapa sekuens horor yang bisa jadi membuat Anda teriak. Tapi sayangnya, film debutan Patrick Wilson ini dibayang-bayangi oleh film sebelumnya yang cemerlang.

Penulis skrip Scott Teems (dengan cerita dari Leigh Whannell) memilih untuk menaruh drama sebagai pondasi yang kuat sebelum ia mulai membawa penonton ke teror yang ia usung.

Ini adalah keputusan yang baik, meskipun Wilson sebagai sutradara terlalu terbawa ke bagian dramanya sehingga film ini membutuhkan waktu yang lama untuk tancap gas. Untungnya, begitu Insidious: The Red Door menekan pedal gas, film ini tidak berhenti.

Meskipun film ini adalah film pertama yang ia sutradarai, Wilson cukup tahu bagaimana cara menakut-nakuti penonton meskipun payback-nya tidak selalu memuaskan.

Dari semua sekuens menyeramkan yang ia buat, adegan di MRI mungkin adalah salah satu highlight film ini. Wilson tahu bagaimana cara memainkan cahaya, kamera, tempo, dan musik. Joseph Bishara sebagai komposer masih bisa dipercaya untuk membuat penonton menutup telinga mereka.

Ty Simpkins sebagai Dalton bermain dengan lumayan baik, meskipun ada beberapa bagian yang terasa sekali dia seperti sedang menghapal dialog. Karakter baru yang dimainkan oleh Sinclair Daniel untungnya mampu membuat suasana menjadi meriah.

Chemistry Simpkins dengan Daniel cukup membantu Insidious: The Red Door untuk tetap seru. Tapi tentu saja pemain terbaik di film ini adalah Wilson.

Patrick Wilson tidak hanya mampu membuat petualangan Josh tetap menarik, tapi ia juga bisa mempersembahkan sekuel yang tidak buruk. Dengan Insidious: The Red Door, saya tidak sabar untuk menyaksikan kejutan lain dari dirinya.***

Editor: Redaksi