JAKARTA – Minggu (9/7/2023), Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai ketersediaan dan akses pangan belum memadai untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Dikutip dari detikfinance, Indeks Ketahanan Pangan Global 2022 menempatkan Indonesia pada peringkat 84 dari 113 negara untuk ketersediaan pangan dan 44 untuk keterjangkauan, lebih rendah dari negara tetangga seperti Thailand (77 dan 39), Vietnam (49 dan 38), dan Malaysia (56 dan 30).
Berbagai pembatasan (restriksi) yang diterapkan pada perdagangan pangan menimbulkan kerawanan pada status gizi dan asupan kalori masyarakat.
Tren konsumsi pangan yang semakin meningkat dinilai harus diimbangi dengan ketersediaan.
“Potensi kesenjangan ini dalam jangka panjang akan mempengaruhi status gizi dan asupan kalori karena masyarakat sulit mengonsumsi pangan bergizi dan seimbang,” kata Head of Agriculture CIPS Aditya Alta dalam keterangan tertulis.
Statistik terbaru menunjukkan jutaan orang Indonesia menderita kekurangan gizi. Sekitar 21 juta orang (sekitar 7% dari populasi) kekurangan gizi dengan asupan kalori per kapita harian di bawah standar Kementerian Kesehatan sebesar 2.100 kilokalori (kkal).
Pada 2022, sekitar 21,6% anak Indonesia berusia di bawah lima tahun mengalami stunting (rasio tinggi berbanding usia rendah), dan 7,7% menderita wasting (rasio berat badan berbanding tinggi badan rendah).
Penelitian CIPS terbaru berjudul ‘Future Food Demand in Poor Indonesian District’ atau Proyeksi Kebutuhan Pangan di Daerah Miskin Indonesia memproyeksikan, permintaan pangan hingga 2045 di 20 kabupaten dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. Di masa depan, permintaan pangan di wilayah termiskin tersebut diperkirakan masih berada di bawah standar asupan kalori harian untuk sumber karbohidrat seperti beras, jagung, dan tepung gandum.
Hal ini terlepas dari jumlah permintaan beras, jagung, dan tepung terigu di 20 kabupaten tersebut yang diproyeksikan meningkat setiap tahunnya sebesar 1,20% (beras), 1,27% (jagung), dan 6,24% (tepung terigu).
Hal ini juga diperkuat oleh data BPS 2022 yang menunjukkan konsumsi beras nasional pada 2021 mencapai sekitar 21,9 juta ton, meningkat 4,68% dibandingkan 2020. Sementara itu, data serupa juga menunjukkan peningkatan konsumsi kedelai nasional di 2021 sebesar 0,79% dibandingkan 2020.
Rata-rata, dari 2018-2021 jumlah permintaan beras meningkat sekitar 297.700 ton setiap tahun. Sedangkan jumlah permintaan jagung, tepung terigu, dan kedelai meningkat setiap tahun masing-masing sebesar 16.280 ton, 26.079 ton, dan 144,02 ton.
Seperti yang ditunjukkan oleh penelitian CIPS sebelumnya yang dikutip di bawah ini, impor beras dan jagung tetap dibatasi meskipun ada potensi kekurangan pasokan. Beras kualitas medium, yang merupakan jenis beras yang dikonsumsi seluruh lapisan masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat berpenghasilan rendah, hanya dapat diimpor oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Hambatan ini membuat proses impor beras untuk pemenuhan ketahanan pangan maupun cadangan pangan menjadi lambat. Tidak jarang beras impor justru datang di saat panen raya dan harga beras domestik jatuh.
Demikian pula dengan impor jagung untuk pakan yang hanya bisa dilakukan oleh BUMN. Kondisi ini merugikan peternak kecil yang harus bersaing dengan perusahaan besar dalam memperoleh jagung pakan dari pasar domestik.
Per Januari 2021, terdapat 466 tindakan non-tarif, seperti kuota impor dan sistem perizinan impor non-otomatis pemerintah, yang berfungsi sebagai hambatan perdagangan produk pangan dan pertanian impor.
Hambatan-hambatan ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap tingginya harga pangan di Indonesia. Secara khusus, harga beras di Indonesia 67,2% lebih tinggi dari harga internasional karena kebijakan non-tarif.
Untuk meningkatkan transparansi perizinan impor dan ekspor, pada awal 2022 pemerintah memperkenalkan Neraca Komoditas sebagai sistem yang dimaksudkan untuk mempercepat proses perizinan dan penetapan kuota dengan berdasarkan data ketersediaan dan kebutuhan dari industri.
“Sistem ini masih menghadapi tantangan karena kesulitannya untuk mengumpulkan data konsumsi dan produksi di tingkat perusahaan, konsumen, produsen, industri, dan nasional, dan modelnya menggunakan asumsi harga pangan statis yang tidak realistis,” pungkasnya.***
Editor: Redaksi