BERITA

Aktivis HAM Soroti Aturan Percobaan 10 Tahun ke Pidana Mati di KUHP Baru

666
×

Aktivis HAM Soroti Aturan Percobaan 10 Tahun ke Pidana Mati di KUHP Baru

Sebarkan artikel ini
Foto: Ilustrasi hukuman mati: Edi Wahyono

JAKARTA – Aktivis hak asasi manusia (HAM) ramai-ramai menyoroti KUHP baru UU 1/2023 pada pasal 100 yang mengatur masa percobaan pidana mati sepuluh tahun. Para aktivis HAM memiliki sejumlah pandangan mengenai pasal tersebut.

Hal itu disampaikan para aktifis dalam FGD bertajuk ‘Menjembatani Jurang Kematian: Perlindungan Hak untuk Hidup melalui Kebijakan Perantara (Interim)’, pada Jumat (19/5) kemarin. Para aktivis menilai KUHP baru mengenai pidana mati ini bisa memberikan dampak positif, namun pemerintah diminta hati-hati menyikapinya.

“Di tahun 2022, sudah ada 112 negara yang menghapuskan pidana mati. Angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2021 di mana jumlah negara yang menghapus pidana mati masih di bawah angka 110.” Zaky menambahkan, “Ketentuan pidana mati dalam KUHP baru merupakan perubahan yang mungkin berdampak positif. Namun demikian, kita haruslah berhati-hati dalam menyikapinya,” ujar Anggota Amnesty International Indonesia Zaky Yamani.

Sementara itu, Dosen hukum pidana Universitas Katholik Parahyangan, Agustinus Pohan, menilai bahwa masa percobaan 10 tahun kepada terpidana mati dalam UU 1/2023 adalah jalan tengah bagi perdebatan penghapusan pidana mati (abolisionis) dan pemberlakuan pidana mati (retensionis). Menurutnya, masa percobaan ini mencerminkan nilai Pancasila karena berupaya menyeimbangkan kepentingan individu dan masyarakat.

Namun, Pohan menilai semangat ini terancam dengan norma dalam Pasal 100 ayat 2 UU 1/2023 yang mewajibkan dimuatnya masa percobaan dalam amar putusan pengadilan.

“Jika melihat naskah akademik (dari KUHP baru/UU 1/2023) sebenarnya sudah jelas masa percobaan ini diberikan secara otomatis. Namun sekarang diwajibkan Pasal 100 ayat (2) (UU 1/2023) untuk dimuat dalam putusan. Apakah berarti kalau tidak dicantumkan (dalam amar putusan), tidak ada masa percobaan? Inilah yang jangan sampai terjadi,” katanya.

Pendapat juga disampaikan Ketua YLBHI Muhammad Isnur, dia mengingatkan Pemerintah untuk menepati komitmennya dalam memberlakukan masa percobaan kepada terpidana mati secara otomatis karena dalam pelbagai kesempatan Pemerintah menyatakan bahwa UU 1/2023 mengadopsi ketentuan yang lebih manusiawi dengan merujuk pada penerapan masa percobaan dalam penjatuhan pidana mati.

Selain belum jelasnya keberlakuan masa percobaan, catatan terhadap pidana mati dalam UU 1/2023 juga menyasar pada cara menilai kelakuan baik terpidana mati. Penilaian yang positif merupakan tiket bagi terpidana mati untuk selamat dari eksekusi karena Pasal 100 ayat (4) UU 1/2023 mengatur kewenangan presiden untuk mengubah pidana mati menjadi penjara seumur hidup bagi mereka yang berkelakuan terpuji.

Penilaian Terpidana Mati di Sel Dipertanyakan
Lebih lanjut, Ketua Pusat Kebijakan Kriminal Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Nella Sumuika Putri menyoroti tentang ketentuan penilaian perilaku terpidana mati. Nella mempertanyakan siapa sosok yang bisa menilai terpidana di dalam sel dan bagaimana tolok ukurnya.

“Bagaimana menilai seseorang berkelakuan terpuji dalam sel penjara? Siapa yang berwenang melakukan penilaian? Apa saja parameternya?” tuturnya.

“Kita harus memikirkan dengan matang apa saja parameter yang dapat digunakan negara untuk memutuskan kapan seorang terpidana mati layak dieksekusi dan tidak dapat diberi kesempatan untuk hidup. Tentunya hal ini perlu diperjelas dengan parameter yang lebih terukur secara objektif,” imbuh Nella.

Senada dengan Nella, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Muhammad Tanziel Aziezi menilai bahwa tata cara menilai perilaku terpidana mati akan dilakukan dalam peraturan pelaksana. Dia mengingatkan bahwa praktek penilaian ini rawan korupsi.

“Tolok ukur dan cara penilaian mungkin diatur dengan peraturan pelaksana, misalnya saja Peraturan Pemerintah. Jangan sampai penilaian dilakukan secara subjektif saja. Tantangannya sekarang bagaimana kita bisa menilai sikap dan pikiran seseorang secara objektif,” ucap Aziezi.

Aziezi lantas menyarankan agar pengadilan di Indonesia mengambil sikap tegas untuk menghindari masalah di kemudian hari.

“Walaupun KUHP baru ini mulai berlaku di tahun 2026, namun tidak dapat dipungkiri setiap vonis pidana mati yang dilakukan saat ini akan berdampak di masa depan. Artinya, pengadilan perlu bersikap antisipatif untuk menghindari masalah di kemudian hari, termasuk untuk melakukan moratorium vonis pidana mati sampai masalah ini terselesaikan,” imbuhnya.

Senada dengan Aziezi, anggota IMPARSIAL Ardi Manto juga menyoroti pentingnya moratorium penjatuhan dan pelaksanaan pidana mati. Ardi meminta moratorium penjatuhan pidana mati harus segera diberlakukan.

“Saat ini, moratorium terhadap penjatuhan pidana mati haruslah diberlakukan. Jika tidak, maka vonis mati bisa terus dijatuhkan padalah belum ada kepastian baik mengenai keberlakuan UU 1/2023 sebelum 2026 maupun mengenai peraturan pelaksananya,” pungkas Ardi.

Sumber: detik.com