INTERAKSI orang Minangkabau yang mendiami pantai barat Sumatra dan daerah pedalaman dengan bangsa asal jazirah Arab, Persia dan India, telah berlangsung sejak masuknya pengaruh Hindu dan Islam. Banyak catatan dan jejak sejarah yang mengungkapkan bahwa wilayah Minangkabau banyak dikunjungi, karena ketersediaan rempah-rempah, khususnya pala, merica, kapur barus, emas, dan banyak lagi lainnya.
Pada saat itu pantai barat Sumatera telah menjadi pelabuhan alternatif, selain Malaka, yang menjadi persinggahan para pedagang berbangsa Arab, India, Persia. Sejak kedatangan bangsa di luar Minangkabau inilah kemudian terjadi akulturasi dalam banyak hal, sebagai salah satu dampak dari proses interaksi tersebut.
Salah satu bentuk akulturasi itu tampak pada berbagai masakan (Kuliner). Dalam kajian ilmu antropologi, setiap masakan menyebar seiring dengan penyebaran manusia. Makanan yang tersebar itu kemudian bisa diterima di tempat lain.
Selain itu, menurut William A. Haviland, bahwa makanan juga menyebar karena ada lokalisasi, proses industri yang disesuaikan dengan adaptasi dan budaya setempat.
Seperti Rendang, salah satu kuliner khas Minangkabau yang merupakan The Most Delicious Food In The World, setelah 35.000 warga dunia mengikuti sebuah survei pada September 2011 lalu di sebuah laman yang merilis sebuah berita dengan headline “Your pick: World‘s 50 Best Food”.
Perjalanan Rendang hingga menjadi makanan yang dinobatkan sebagai makanan terenak di seluruh dunia itu ternyata sangat panjang. Rendang dengan segala rempah-rempah dan bumbu khasnya yang membuatnya mampu bertahan di tengah gempuran makanan-makanan modern, junkfood, dan western food yang tumbuh menjamur hari ini, ternyata merupakan sebuah kuliner yang lahir dari proses akulturasi dengan kebudayaan yang dibawa para pedagang India di masa lalu.
Masakan Rendang khas Sumatera Barat merupakan salah satu masakan yang diakui dunia sebagai makanan alternatif selama lockdown Covid-19.
Menurut sejarawan Gusti Asnan, kelahiran Rendang tak luput dari pengaruh bumbu-bumbu dari India yang diperoleh melalui para pedagang Gujarat, India, yang mulai singgah ke Sumatra pada abad ke-13 hingga 14. Sebuah catatan sejarah yang ditulis oleh seorang pengelana Portugis, Tom Pires, turut menguatkan bukti bahwa masakan Rendang pada masa ini tak lepas dari pengaruh India.
Menurutnya, pada awal abad ke-16 sudah ada kapal Gujarat yang berlabuh di pantai Sumatera Barat. Mereka mendarat kemudian berdagang di pelabuhan Tiku dan pelabuhan Pariaman. Gusti Asnan berpendapat, jika awal abad ke-16 saja bangsa India sudah tercatat berdagang di Sumatra, maka otomatis jauh sebelum itu, mereka pun telah ada.
Salah satu pengaruh India yang melebur dalam masakan Rendang adalah dalam pemakaian santan. Pernyataan ini juga dikuatkan oleh seorang pakar kuliner nusantara, Wiliam Wongso, yang menyatakan bahwa pemakaian santan ini berasal dari India Selatan. Wilayah India Utara tidak memakai santan sebagai bahan pengental, mereka memakai yoghurt. India Selatan memakai santan. Hal ini berarti, pengaruh santan yang masuk ke dalam masakan Rendang adalah dari India Selatan.
Persebaran orang-orang Minangkabau dalam budaya merantau ke luar pulau Sumatra meningkatkan popularisme Rendang ke setiap pelosok nusantara. Surat kabar Soenting Melajoe yang didirikan pada 1912 memuat topik yang berisi menu-menu makanan dan juga resep-resep memasak yang terutama jarang didapat dalam buku-buku masak berbahasa Jawa. Surat kabar Soenting Melajoe memang surat kabar khusus perempuan yang memberitakan hal-hal seputar kegiatan perempuan.
Menurut D.S Maharadja, salah seorang yang cukup andil dalam surat kabar tersebut, banyak surat-surat yang berasal dari orang-orang Eropa di Palembang, Batavia, hingga Kupang yang dikirim ke kantor redaksi Soenting Melajoe, yang beberapa di antaranya bersedia mengirimkan sejumlah uang tunai demi kiriman “Rendang Alam Minangkabau“.
Orang-orang Eropa yang telah mencicipi Rendang meyakini bahwa daging awetan seperti Rendang dapat mengeraskan pembuluh darah sehingga tak heran jika mereka sangat meminta kepada perempuan Minangkabau via redaktur Soenting Melajoe agar dibuatkan dan dikirimkan Rendang meski jarak yang jauh memisahkan mereka.
Bagi orang Minangkabau sendiri, Rendang telah menjadi masakan tradisional yang wajib dihidangkan dalam berbagai acara adat dan hidangan keseharian. Buah dari budaya merantau membuat seni memasak ini berkembang ke kawasan serantau berbudaya Melayu, mulai dari Mandailing, Riau, Jambi, hingga ke negeri seberang, Negeri Sembilan yang banyak dihuni perantau asal Minangkabau.
Oleh sebab itu, Rendang dikenal luas baik di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Rendang juga disebut dalam Hikayat Amir Hamzah yang membuktikan bahwa rendang sudah dikenal dalam seni masakan Melayu sejak 1550-an (pertengahan abad ke-16).
Masakan Rendang khas Sumatera Barat merupakan salah satu masakan yang diakui dunia menjadi makanan alternatif selama lockdown Covid-19.
Cara yang sama dilakukan orang Minang pada abad ke-16, ketika meneroka di pantai timur Sumatera hingga Malaka, Malaysia, dan Singapura. Ada kemungkinan, masakan tahan lama seperti Rendang sudah ada pada saat itu. Pada masa itu, perjalanan bisa makan waktu berbulan-bulan.
Bahkan Kolonel Stuerssempat mengguratkan kisah kuliner dan sastra ini pada 1827. Catatan berharga ini, secara implisit menampilkan deskripsi tentang alam, budaya dan kearifan lokal, serta tradisi yang identik dengan Minang. Kuliner yang tertulis secara implisit diduga kuat mengarah pada Rendang.
Pada sumber-sumber Belanda, pernah muncul istilah makanan yang dihitamkan dan dihanguskan, istilah itu dapat ditafsirkan sebagai teknik pengawetan. Jadi tidak mengherankan orang Minang pada masa lalu mengawetkan makanan dengan metode pengasapan dan pengeringan.
Pengasapan dan pengeringan dilakukan dengan memasak dengan waktu yang diatur sedemikian lama. Oleh sebab itu Rendang bisa tahan berbulan-bulan, bahkan bertahun seperti Rendang yang berasal dari Nagari Koto Anau, Kabupaten Solok. Semuanya itu tergantung teknik pengolahan atau memasak Rendang itu sendiri.
Proses pengawetan dalam masakan Rendang sangat terasa keuntungannya di tengah serbuan wabah pandemi Covid-19 hari ini. Pada saat diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang konsekuensinya terjadi keterbatasan hubungan sosial dengan orang lain, maka membuat Rendang menjadi alternatif yang paling diminati oleh ibu-ibu.
Rendang membuat ibu-ibu tidak harus sering keluar rumah untuk berbelanja lauk-pauk, karena sifat Rendang yang mampu bertahan lama. Rendang bahkan juga dikirim melalui kurir ke tempat anggota keluarga mereka yang terjebak di wilayah pandemi dan tidak memungkinkan untuk pulang ke Sumatera Barat.
Mendekati Idul Fitri yang hanya sebentar lagi, di berbagai media sosial telah muncul banyak postingan tentang Rendang oleh masyarakat yang terjebak di perantauan. “Membuat kami serasa berada di kampung halaman”, begitu rata-rata mereka mengungkapkan kesenangannya mendapat kiriman Rendang dari kampung halamannya.
Rendang hari ini kembali menjadi primadona. Bukan hanya karena rasanya enak dan kaya akan rempah-rempah, namun juga kemampuannya untuk bertahan berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan lamanya, karena proses pengawetannya yang alami dan telah dikenal sejak zaman dahulunya. (*)
Penulis: Zusneli Zubir (Staf Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat, dan Ketua DPD Himpunan Wanita Karya Sumbar).
Editor: Muhammad Fadhli