BANDUNG – Semua umat manusia tampaknya tahu bahwa saat ini dunia sedang diselimuti oleh suatu pandemi yang disebut Coronavirus Disease (Covid-19. Begitupun di Indonesia, wabah Covid-19 tidak sekedar masalah kesehatan saja, melainkan merembet pada timbulnya masalah-masalah lain, seperti masalah ekonomi, ketenagakerjaan, kejahatan, dan lain-lain. Pada akhirnya bermuara pada krisis multidimensi.
Dalam kondisi krisis akan banyak orang yang mengalami kesulitan. Ada yang mensikapinya dengan pasrah saja, dan ada juga yang kreatif. Merubah kesulitan menjadi peluang yang positif. Kadangkala muncul tindakan spontan yang tidak terpikirkan. Sebagian dari kita menyebutnya insting, atau naluri. Contohnya gerakan spontan untuk membantu, membagikan masker, memberi sembako, dan sebagainya.
Hal ini disampaikan Konsultan Pemberdayaan Manusia, Dede Farhan Aulawi saat berbincang-bincang bersama awak media melalui sambungan telepon di Bandung. Sabtu (25/4/2020).
Menurut Dede, intuisi adalah kemampuan untuk memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas. Sepertinya pemahaman itu tiba-tiba saja datangnya dan di luar kesadaran atau bisa dikatakan sebagai spontanitas. Misalnya saja, seseorang tiba-tiba saja terdorong untuk membaca sebuah buku. Ternyata di dalam buku itu ditemukan sebuah keterangan yang dicari-carinya selama ini.
Kemudian dia juga mengatakan bahwa tidak semua intuisi berasal dari kekuatan psikologi, karena sebagian intuisi bisa dijelaskan sebab musababnya. Orang yang selalu sibuk dengan rutinitas yang sama setiap hari, biasanya sulit dalam menemukan sebuah intuisi, sebab dia tidak mengenal intuisi selain bekerja mengikuti prosedur atau kebiasaan sehari-harinya.
Meskipun selalu ada pengecualian bagi orang tertentu. Manusia cerdas akan melatih intuisinya untuk memahami arti dan makna kehidupan yang tidak selalu diterjemahkan dengan perlombaan karir, jabatan, kekayaan, pangkat, dan sebagainya.
Intuisi yang terlatih berdasarkan jam terbang dalam menghadapi berbagai situasi krisis serta ditempa dengan berbagai kesulitan, akan terbiasa membuat berbagai gagasan serta terobosan berkualitas tinggi. Pemikiran dan nalarnya selalu melahirkan karya masa depan yang luar biasa.
“Keterbatasan dan berbagai kesulitan yang pernah menempa seseorang, bisa menjadi sebuah proses untuk mengasah ketajaman intuisi seseorang. Oleh karenanya, kita harus memiliki rasa peduli, empati dan mau berfikir. Termasuk kepiawaian dalam mengakses reservoar alam bawah sadar yang dimiliki,” ujar Dede.
Selanjutnya Dede juga menjelaskan “Intuisi” dalam pendekatan neurosains. Intuisi dapat digambarkan sebagai “Innate Intelligence” yang berkorelasi dengan respon perilaku terotomasi. Kemungkinan melibatkan peran Hipokampus dan Anterior Cingulate Cortex yang antara lain berfungsi untuk mengonsolidasi memori dari fase singkat ke fase jangka panjang. Misalnya mengakomodir fungsi spacial cognitive yang diperankan oleh girus dentata dan medial enthorinal cortex.
Dimana pada proses intuisi, konektivitas fungsional ini menjadi bagian dari operating system yang bersifat involuntary. Ada mekanisme ‘pre processing’ informasi/knowledge di insula sebagai connectome switchernya yang mengkanalisasi tindakan ‘involuntary’ terstruktur tersebut ke jalur ‘unconscious routine processes’ di basal ganglia, ‘supplementary motor area’ dan area pre-SMA.
Hasilnya ada perilaku cerdas repetitif yang dijalankan saat ada stimulus dan kondisi yang sesuai. Lalu sejalan dengan riset Libet, kondisi ini dapat dibatalkan oleh keputusan kognitif berkesadaran. Hasil otorisasi, validasi, dan verifikasi OFC-PFC yang dapat merubah keputusan di fase “last minute”.
Jadi kebiasaan menghadapi berbagai tantangan, kesulitan dan bahkan ketakutan sebenarnya merupakan sebuah proses otak, yang akan melahirkan kepekaan intuisinya. Dengan demikian, lahirnya kepemimpinan intuitif itu akan berproses dari berbagai pengalaman dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup sebelumnya. Pungkas Dede mengakhiri perbincangan.***